top of page

Masih Pentingkah Pendidikan Formal di Zaman Revolusi Industri ke-4?

  • Writer: Friends Du Jour
    Friends Du Jour
  • Oct 29, 2016
  • 8 min read

Sumber gambar : Executive Summary World Economic Forum

Intens, inilah kata yang tepat menurut saya untuk mendeskripsikan persaingan di antara manusia pada zaman kita hidup saat ini, yaitu zaman Revolusi Industri ke-4. Hampir semua aspek kehidupan dan dunia kerja memanfaatkan kemajuan teknologi digital, manusia terhubung dengan mudah, dan akses informasi tak terbatas. Menurut Klaus Schwab, Founder dan Executive Chairman World Eonomic Forum, manusia telah melewati 4 masa Revolusi Industri sejak Revolusi Industri ke-1 tahun 1784 hingga Revolusi Industri ke-4 saat ini. Setiap fase Revolusi Industri bergantung dengan mesin dan teknologi. Revolusi Industri ke-4 sepertinya menjadi puncak karena keberadaan internet dan artificial intelligence (kecerdasan buatan). Telah ada banyak prediksi bahwa di tahun 2020 akan ada banyak manusia yang kehilangan lapangan pekerjaan karena peran mereka yang akan digantikan oleh robot.


Dalam Executive Summary : The Future of Jobs yang dikeluarkan oleh World Economic Forum dijelaskan bahwa untuk dapat bersaing di zaman Revolusi Industri ke-4, kita diharapkan memiliki 3 kompetensi utama, yaitu Persuation, Emotional Intelligence, dan Teaching Others. Sementara itu, Majalah Forbes menempatkan complex problem solving (penyelesaian masalah yang kompleks), critical thinking (berpikir kritis), dan creativity (kreativitas) sebagai tiga keahlian utama yang harus dimiliki manusia mulai saat ini hingga di tahun 2020 nanti. Meski akan bersaing dengan robot, manusia dianggap masih lebih unggul karena robot belum mampu menyaingi kreativitas manusia.


Saya menyadari bahwa sebelum sampai ke dunia kerja, dunia yang menjadi tempat yang paling banyak memerlukan ketiga keahlian tersebut, waktu kita paling banyak dihabiskan untuk menuntut ilmu di institusi pendidkan, formal ataupun non-formal. Sepertinya saat ini institusi pendidikan formal masih menjadi pilihan utama sebagian besar rakyat Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan. Hal yang menjadi pertanyaan terbesar saya adalah apakah institusi pendidikan formal di Indonesia saat ini dapat menjamin keberhasilan kita mendapatkan ketiga keahlian tersebut. Berdasarkan pengalaman menuntut ilmu dari tingkat SD hingga ke universitas, saya harus jujur bahwa saya meragukan peran sekolah (SD-SMA) untuk mempersiapkan kita hidup di zaman Revolusi Industri ke-4.

Pendidikan di Sekolah dan Kehidupan Nyata yang Tidak Merelevansi.

Sumber gambar : Imgorthand | Getty Images

Berapa banyak orang yang menyadari bahwa saat ini mereka hidup di zaman Revolusi Indsutri ke-4, bukan Revolusi Industri ke-1? Saya tidak tahu jumlah pastinya. Apakah masih ada orang-orang yang tidak sadar bahwa mereka menjalani hidup layaknya orang-orang di zaman Revolusi Indsutri pertama? Saya rasa masih sangat banyak. Mereka adalah orang-orang yang masih menganggap bahwa hanya ilmu-ilmu tertentu yang penting dan mampu mengantarkan mereka menuju kesuksesan. Sungguh ironis karena justru sering kali saya mendapati mereka yang tidak sadar adalah orang-orang yang dekat dengan dunia pendidikan, para pendidik dan para terdidik. Menurut Ken Robinson, seorang ahli pendidikan berkebangsaan Inggris, sistem pendidikan K-12 (jenjang SD-SMA) di dunia saat ini masih berfokus pada ilmu-ilmu yang dibutuhkan pada masa Revolusi Industri pertama, yaitu ilmu pengetahuan alam. Lalu, bagaimana kondisi pendidkan K-12 di Indonesia yang masih menjadi negara berkembang? Menurut saya tidak jauh berbeda dan malah lebih buruk lagi karena ditambah dengan iming-iming anak-anak jurusan IPA lebih pintar dan masa depannya lebih terjamin dari anak-anak jurusan IPS. Kenyataannya, di zaman Revolusi Industri ke-4, mereka yang akan mudah mencapai kesuksesan tidak ditentukan dari latar belakang rumpun ilmu alam, sosial, atau humaniora, melainkan mereka dengan skills (keahlian) terbanyak dan emotional intelligence (kecerdasan emosional) yang baik.


Saya beruntung karena SMA saya dulu memiliki mata pelajaran entrepreneurship (kewirausahaan). Pelajaran matematika dasar, bahasa Inggris dan kelas public speaking yang saya pilih mungkin menjadi tiga mata pelajaran yang dapat saya rasakan manfaatnya dalam kehidupan saya selepas menuntut ilmu di institusi pendidikan formal. Bertahun-tahun saya menghabiskan siang dan malam untuk mempelajari Impuls dan Momentum, Hukum Faraday, Logaritma, Dinamika Gerak Lurus, Fungsi Komposisi dan Invers, Unsur Halogen dan Golongan Alkali dan tidak satu pun memiliki peran nyata atau dapat saya terapkan langsung dalam kehidupan saya saat ini. Tentu saja tidak ada manfaatnya sama sekali dalam kehidupan saya karena setelah lulus SMA saya melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi dan belajar rumpun ilmu yang berbeda. Bila saya tetap mengikuti rasa "tidak enak" dengan orang tua yang menyarankan saya untuk kuliah jurusan Teknik, mungkin ilmu-ilmu tersebut masih akan tetap saya pelajari hingga saat ini. Akan tetapi, saat bertukar pikiran dengan beberapa teman yang dulunya mengambil jurusan IPS saat SMA dan tetap berada di rumpun ilmu yang sama saat kuliah, mereka mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang mereka pelajari dulu juga tidak terlalu berpengaruh dan dapat diterapkan. Apakah saya menyesal pernah mempelajari pelajaran di sekolah yang tidak relevan dengan kehidupan saya saat ini? Tidak. Apakah waktu saya dan apa yang saya pelajari tersebut sia-sia? Sangat sia-sia!


Saya tidak tahu perkembangan yang terjadi di dunia pendidikan formal Indonesia saat ini, khususnya di tingkat SD-SMA. Setiap sekolah dan daerah sepertinya mempunyai sistem yang berbeda, namun yang jelas, saya harus mengakui bahwa sekolah di Indonesia dapat menjadi faktor ketidakmampuan meraih 3 keahlian yang telah disebutkan sebelumnya. Sekolah belum mampu memaksimalkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah kompleks dari para siswa karena guru masih sering menjadi pusat dalam proses belajar mengajar. Para siswa cenderung pasif dan lebih sering dilatih untuk hanya mendengarkan guru dan mengerjakan apa yang diperintahkan. Sekolah masih jarang mengajak siswa untuk bekerja sama dalam pengerjaan suatu proyek tertentu yang berhubungan dengan materi pelajaran yang disampaikan, yang sifatnya aplikatif dalam kehidupan dan mampu melatih kecerdasan emosional. Oleh karena itu, siswa masih belum tajam untuk berpikir kritis dan menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks.


Sekolah juga menghambat kreativitas dan kecerdasan para murid karena masih cenderung menganut paham kebenaran absolut, yang saya maksud di sini adalah guru sebagai Tuhan yang tidak pernah salah. Memang tidak semua guru bersikap seperti ini, tetapi saya rasa masih banyak guru di Indonesia yang textbook oriented. Saat menempuh pendidikan K-12 dulu, saya pernah memiliki beberapa guru yang selalu ingin agar jawaban para siswa sama persis dengan apa yang tertera di buku pelajaran. Saya adalah orang yang dapat dengan mudah memahami sesuatu ketika saya dapat mencernanya dan menyampaikannya dengan bahasa saya sendiri. Saat itu saya hanya dapat mengeluh di dalam hati "Bagaimana mungkin saya dapat menghafal dengan pasti semua kata, titik, dan koma kalimat di dalam buku!". Saya akhirnya tetap menuliskan jawaban yang saya rangkai dengan kalimat saya sendiri. Hasilnya, jawaban saya salah karena tidak sama persis dengan "apa kata buku". Saya tidak dapat protes karena sekali lagi, guru adalah Tuhan. Tidak hanya itu, saya rasa masih banyak sekolah di Indonesia yang menjunjung konsep "Dari 1-10 atau 10-100, jika kamu mendapat 10 atau 100 berarti kamu pintar (tidak peduli bagaimana pun "caramu" mendapatkanya.)"


Haruskah Kembali Menjadi Anak-anak Agar Kita Lebih Kreatif?

Sumber gambar : http://www.thirteen.org/

Setelah membaca beberapa bukunya, saya sangat mengagumi sosok Kenneth Robinson atau yang lebih dikenal dengan Sir Ken Robinson. Sebagai pendidik yang telah malang melintang selama 40 tahun di dunia pendidikan, penulis, dan salah satu pembicara Ted Talks dengan jumlah penonton terbanyak (Lihat : Do Schools Kill Creativity?), Ken Robinson membuat saya menyadari bahwa pendidikan di sekolah terkadang membunuh salah satu dari 3 keahlian terpenting saat di zaman Revolusi Industri ke-4, yaitu kreativitas. Contoh paling sederhana menjadi kreatif saat di sekolah adalah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, menjawab pertanyaan dengan formulasi kalimat yang kita ciptakan sendiri, bukan meniru tulisan di buku. Kreativitas padahal memegang peranan penting dalam proses belajar. Institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk memupuk kreativitas.


Anak-anak sering dianggap sebagi sosok yang lebih kreatif dan imajinatif daripada orang dewasa. Ken Robinson memberikan contoh seorang anak yang diminta oleh gurunya untuk menggambar. Ketika ditanya apa yang akan ia gambar, sang anak menjawab ia akan menggambar Tuhan. Guru tersebut lalu berkata bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu wujud Tuhan. Anak tersebut menjawab "sebentar lagi mereka akan tahu." Saya pun teringat dengan sepupu saya yang masih berusia 3 tahun. Saat itu saya tengah bermain dengannya dan ia mengatakan bahwa ia dapat menghilangkan benda. Ia meletakan sebuah jepit rambut di atas bantal, berlari dan bersembunyi di balik gorden, berhitung satu sampai tiga, keluar dari gorden, kemudian kembali mendekati jepit rambut. Ia sejenak terdiam karena jepit rambut tersebut masih ada di atas bantal. Kemudian ia mengulangi cara yang sama dan jepit rambut tersebut masih tetap di atas bantal. Ketika ia mecoba untuk ketiga kalinya, saya mengambil jepit rambut tersebut dan menyembunyikannya di saku celana saya. Seketika ia langsung percaya bahwa ia benar-benar dapat menghilangkan benda. Ketika ia berkata ia akan memunculkan lagi jepit rambut yang hilang, ia pun menambahkan ritual sedikit menari atau bernyanyi setelah berhitung. Saya pun meletakannya kembali ke atas bantal sesaat sebelum ia keluar dari balik gorden. Kami pun melakukan hal yang sama selama 15 menit hingga akhirnya ia berhenti.


Lantas, apa yang membuat anak-anak lebih kreatif? Dalam perspektif saya, semua terjadi karena di masa kanak-kanak, manusia tidak akan dihakimi oleh orang lain. Tidak ada banyak intervensi dalam kehidupan anak-anak, mereka cenderung bebas berbuat apapun. Sang guru tidak akan mengatakan "Jangan, kamu tidak boleh menggambar Tuhan, cari objek yang lain saja" atau "Jangan coba-coba menggambar Tuhan, nanti kamu masuk neraka" kepada anak tadi karena guru tersebut membiarkan kreativitas sang anak mengalir dan membiarkan pikiran anak tersebut percaya bahwa sosok Tuhan adalah apa yang muncul dari goresan pensil warna yang ia gunakan. Saya tidak mengatakan "Kamu bodoh sekali, mana mungkin jepit rambut ini akan hilang hanya dengan kamu bersembunyi di balik gorden dan menghitung satu sampai tiga" kepada sepupu saya karena saya sadar bahwa usia anak-anak adalah waktu terbaik untuk kita mengajarkan mereka untuk percaya dengan kemampuan diri mereka. Saya berusaha untuk membuatnya yakin dengan keahliannya. Apa yang ada di dalam pikiran anak-anak adalah mereka percaya dapat melakukan sesuatu, mereka percaya mampu melakukannya dengan cara mereka sendiri, dan mereka percaya bahwa itu akan berhasil.


Penghambat terbesar orang dewasa untuk menjadi kreatif adalah kekhawatiran menjadi berbeda dan terlalu memikirkan pendapat orang lain. Pada umumnya, ketika menjadi semakin dewasa, kita akan cenderung merasa insecure dengan diri sendiri dan dengan segala kemampuan yang kita miliki karena banyaknya orang yang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Sebagian besar dari mereka menjadi orang-orang yang merasa berhak untuk memberitahu kita apa yang harus kita lakukan dalam hidup, bagaimana cara melakukannya, dan menghakimi kita ketika apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan apa yang mereka yakini. Saat dewasa kita pun dituntut untuk menjalani sesuatu yang pasti, harus memilih menjadi orang yang idealis, realistis, oportunis, menggabungkan semuanya atau tidak menjadi ketiganya sama sekali. Hal-hal ini akhirnya membuat kita ragu dan tidak terbiasa menjadi kreatif karena kreativitas sering kali berwujud sesuatu yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh banyak orang. Menjadi kreatif berarti mampu menghasilkan sesuatu yang berbeda dan melakukannya dengan cara yang berbeda pula (yang terkadang tidak dapat diterima oleh orang-orang yang menjunjung tinggi status quo.)


Bagaimana Institusi Pendidikan Formal Seharusnya Berperan?

Sumber gambar : Thomas Barwick | Getty Images

Saya sependapat dengan Ken Robinson yang mengatakan bahwa sekolah menjadi tempat berkembangnya mitos pintar berarti mendapat nilai sempurna atau nilai tertinggi di kelas, menjadi pintar memudahkan kita masuk ke universitas terbaik sehingga nanti kita akan mudah mendapat pekerjaan, gaji yang besar, dan kehidupan yang mapan. Mungkin, inilah yang menjadi cikal-bakal sistem ranking (peringkat) di sekolah. Saya setuju apabila sistem ranking yang diberlakukan ditujukan oleh pihak sekolah untuk memberi penghargaan kepada mereka yang mampu menampilkan performa terbaik saat di kelas, tanpa menyudutkan siswa lain yang performanya lebih rendah. Faktanya, sekolah di Indonesia masih belum sepenuhnya menyadari bahwa ada banyak kecerdasan di dunia ini dan setiap manusia memiliki kecerdasan, keahlian, dan potensi yang berbeda-beda.


Saat ini para penuntut ilmu di SD-SMA adalah generasi Digital Native, yaitu mereka yang lahir, tumbuh dan berkembang dengan pengaruh teknologi dan fasih menggunakannya. Mereka hidup dalam masa ledakan informasi. Mereka mampu mencari dan belajar sendiri apapun yang mereka inginkan tanpa bantuan guru. Sekolah tidak dapat lagi hanya berfungsi sebagai institusi yang membagikan apa yang tercantum di dalam kurikulum atau bertindak sebagai pemberi label "bodoh" kepada anak-anak yang tidak gemilang di dunia akademis melalui sistem ranking. Seharusnya sekolah menjadi tempat yang membuat mereka yang berada di dalamnya merasa aman karena adaya pihak-pihak yang mengatakan "Mari kami bantu kamu untuk memaksimalkan potensi terbaikmu", tempat untuk menumbuhkan perasaan yang mengakar bahwa kita tidak perlu takut salah ketika belajar, nilai di kertas tidak menjamin seseorang sukses atau tidak di abad ini. Menguasai dirimu, tahu apa kemampuan terbaikmu dan tahu cara memaksimalkannya adalah yang terpenting dalam proses belajar karena kita tidak akan dapat menjadi sempurna di segala bidang.


Saya berharap di masa mendatang akan semakin banyak pihak-pihak yang bekerja sama untuk menjadikan sekolah di Indonesia sebagai tempat yang mendidik generasi bangsa untuk meresapi makna belajar. Bahwa belajar dan menuntut ilmu di institusi pendidikan bukan hanya sekadar untuk membuat kita aman dan mudah mendapatkan pekerjaan. Apakah mendapatkan uang dan kehidupan yang layak adalah tujuan sesungguhnya dari mengenyam pendidikan? Bukan. Tidak semua orang berkesempatan menjadi orang yang terdidik. Tanggung jawab sebagai orang yang terdidik sangatlah besar. Kita bertugas untuk menjaga bumi tempat kita hidup sebagai tempat yang layak bagi diri sendiri dan orang lain dengan mengubah apa yang belum baik menjadi baik dengan kompetensi yang kita miliki.

Comments


ARTIKEL TERBARU

ARTIKEL PILIHAN

KATEGORI

Komentar

bottom of page