Jangan Jadi Mental Tempe!
- Friends Du Jour
- Oct 22, 2016
- 3 min read

Kembali ke masa gema suara “amanat pembina upacara...untuk amanat, istirahat di tempat, gerak!”
Di sinilah pertama kali saya mendengar istilah mental tempe yang dilontarkan oleh Kepala Sekolah SMA saya. Istilah itu beliau gunakan untuk menyebut anak-anak yang selalu pingsan dan sakit pada saat upacara hari Senin. Upacara di sekolah saya memang memakan waktu yang cukup lama. Ketika Kepala Sekolah menjadi pembina upacara, kemungkinan bisa mencapai satu setengah jam. Saya sangat kecewa dengan perilaku teman-teman yang meninggalkan lapangan upacara. Sebagian besar dari mereka tidak benar-benar sakit. Alasan yang sering saya temukan adalah mereka lapar dan ingin ke kantin karena belum sarapan pagi atau malas berdiri di bawah terik matahari.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tempe. Tempe adalah makanan yang sehat dan harganya juga terjangkau. Tempe adalah makanan sejuta umat di Indonesia. Mulai dari orang dengan ekonomi kelas atas, menengah, hingga bawah, semua mungkin pernah makan tempe atau selalu menyediakan tempe di rumahnya. Lalu, mengapa mental tempe, bukan mental nasi bekas atau mental sayur basi yang menurut saya konotasinya lebih buruk dari tempe ?
Ini hipotesis saya : beliau menggunakan tempe mungkin karena ia beranggapan bahwa tempe adalah komponen paling dasar yang menjadi lauk dalam makanan rakyat Indonesia. Paling tidak dalam sehari kita makan nasi dengan tempe, atau mungkin ditambah dengan sambal. Bila kita beruntung mungkin ada tambahan lauk lain dalam piring makanan kita, seperti sayur dan telur. Jika kita lebih beruntung lagi, mungkin ada ikan, ayam, dan daging. Kesimpulannya, tempe digunakan karena mengacu pada sesuatu yang dianggap “standar” atau “biasa-biasa saja” oleh Kepala Sekolah saya. Dalam konteks saat upacara tadi, Kepala Sekolah saya menilai bahwa anak-anak yang berjatuhan di lapangan upacara adalah anak-anak yang standar dan biasa-biasa saja, atau mungkin mentalnya tidak kuat. Mereka adalah orang-orang yang tidak berani untuk menghadapi sengatan matahari, tidak berani membiarkan tubuh mereka diguyur air keringat, dan tidak berani membiarkan kaki mereka lelah berdiri. Mereka adalah orang-orang dengan semangat juangnya rendah, tidak siap untuk melangkah maju, tidak mau berusaha keras, dan seolah tidak memiliki persiapan dalam hidup. Mereka mengetahui bahwa upacara di sekolah akan memakan banyak waktu, tetapi alih-alih mempersiapkan diri sebelum upacara, mereka lebih memilih berpura-pura sakit.
Saya mengakui bahwa di beberapa kesempatan saya sebenarnya juga “mental tempe”. Namun, bukan karena saya kabur dari lapangan upacara, tetapi karena bersembunyi dari medan perang semasa sekolah dan kuliah. Saya menganggap bahwa ruang kelas adalah medan perang bagi para penuntut ilmu. Selalu akan ada masa ketika guru atau dosen melontarkan pertanyaan dan meminta pendapat kita. Saya termasuk golongan yang jarang langsung berani bersuara. Saya menjawab pertanyaan atau memberikan pendapat hanya ketika saya sedang ingin aktif di kelas, yakin dengan jawaban saya, dan yang paling sering adalah untuk menentramkan perasaan dosen yang mulai kesal menunggu jawaban.
Saya termasuk orang yang beruntung karena komposisi makanan yang saya konsumsi dalam satu hari tidak hanya tempe. Seharusnya, saya tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang "biasa-biasa saja", yang tidak berani, yang semangat juangnya rendah, tidak siap untuk melangkah maju, tidak mau berusaha keras, dan tidak memiliki persiapan dalam hidup. Akan tetapi, untuk sekedar berpendapat di kelas, yang sudah jelas-jelas tidak akan ada salah dan benar saja saya masih bersembunyi. Otak dan hati selalu berdebat hingga muncul pikiran “jawab ga ya? gak deh, nanti malah ditanyain lagi”, “duh gimana ya, entar malah didebat balik”
Apakah kalian yang termasuk golongan anak muda yang semasa sekolah atau kuliah sering nongkrong di kafe? selalu ingin mencoba tempat makan yang harganya begitu mencekik bagi para anak kos? atau mengerjakan tugas sambil meneguk segelas kopi seharga 50.000-an?, tetapi jarang berani berpendapat saat di kelas, forum diskusi dalam organisasi yang kalian ikuti, atau dalam berbagai kesempatan apapun?
Hanya kalian yang tahu jawabannya, tetapi yang jelas saya tahu saya tidak sendiri. Sejujurnya, satu hal yang ingin saya perbaiki apabila saya dapat kembali ke masa-masa sekolah dan kuliah, yaitu selalu berani berpendapat. Namun, mempersiapkan masa depan lebih baik daripada menyesali masa lalu karena hidup adalah siaran acara yang Live, bukan rekaman DVD yang bisa sewaktu-waktu kita tekan play, pause atau rewind. "Try to learn something about everything and everything about something!". Oleh karena itu, sekarang saya mengajak kalian untuk berani mengemukakan pendapat, mengeluarkan semua yang ada dalam pikiran, bertanya sebanyak mungkin ketika kalian tertarik dengan satu pokok pembicaraan, berkomentar dan antusiaslah ketika orang lain berbagi ilmu.
Komentarze