Jadi Imigran di Negeri Sendiri
- Friends Du Jour
- Oct 11, 2016
- 3 min read

Dari dulu saya terbiasa berjalan cepat. Menurut saya ritme jalan saya normal. Namun, hampir semua orang yang mengenal saya mengatakan ritme jalan saya begitu cepat, tidak seperti orang Indonesia. Saat SMA dulu ada teman yang sampai mengatakan “jangan cepat-cepat, ini bukan Singapura” untuk membuat saya memperlambat langkah. Teman-teman kuliah saya selalu berkata “buat gue lo lari bukan jalan”. Saya terkadang kesal minta ampun dengan orang-orang Indonesia yang berjalan sangat lambat. Hal ini terkadang membuat saya merasa sepertinya saya bukan bagian dari masyarakat Indonesia.
Sebenarnya tidak perlu membandingkan orang Indonesia dengan orang negara lain untuk merasakan perbedaan budaya dan kebiasaan. Tidak perlu juga pergi jauh ke luar negeri untuk merasakan culture shock. Pengalaman berpindah pulau dari Sumatera ke Jawa untuk menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi sudah cukup membuat saya terbelalak di beberapa bulan pertama. Ketika itu, cukup sulit bagi saya untuk memanggil seseorang dengan kata “lo”. Kata ini terasa sangat kasar. Lahir dan dibesarkan di Palembang membuat saya terbiasa memanggil teman-teman dengan namanya sebagai kata ganti. Jika saya memiliki teman bernama Dina, saya akan mengatakan “Din, ini untuk Dina” bukan “Din, nih buat lo”. 17 tahun hidup di Palembang dan akhirnya harus pindah kota, untuk pertama kalinya saya melihat ada banyak perempuan yang merokok. Saya sangat takut sekali pada saat itu. Nama-nama hewan yang sering digunakan sebagai umpatan keluar dengan mudahnya dari mulut teman-teman saya yang lahir dan besar di Jabodetabek. Lama-kelamaan saya pun terbiasa mendengarnya dan mulai sadar bahwa sebenarnya kata-kata tersebut keluar sebagai interjeksi pengganti “wow!” atau “aduh!”
Beberapa tahun tinggal di kota yang berbeda, setiap kali pulang ke kampung halaman saya merasakan selalu ada yang berubah. Seperti ada sesuatu yang terkikis dari kota kelahiran saya. Perubahan tersebut membuat saya seperti kehilangan apa yang saya anggap sebagai rumah. Setiap pulang saya berharap dapat kembali merasakan orang-orang Palembang yang “tetap daerah” dan “sederhana”. Namun, yang saya dapati adalah orang-orang yang berusaha untuk mengubah gaya hidupnya agar sama seperti orang-orang di kawasan Ibu Kota dan sekitarnya. Anak-anak muda di Palembang yang dahulu ber “aku dan kau” sekarang sudah mulai mencoba menggantinya dengan “gue dan lo”.
Palembang memang berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir. Saat liburan semester dulu, saya begitu terkejut ketika sedang jalan-jalan sambil makan siang dengan teman-teman SMA yang masih tinggal di Palembang. Tiba-tiba salah seorang teman saya berpapasan dengan teman kuliahnya. Mereka langsung berbicara dalam bahasa Ibu Kota dan menggunakan kata gue dan lo dengan aksen Palembang yang masih sangat kental. Sambil bertukar pandang dengan teman lain yang juga merasa heran, di dalam hati saya langsung mengatakan “What?”. Teman saya akhirnya menceletuk “kehilangan jati diri”. Ketika ia selesai, sambil menyindir dengan sedikit bergurau, saya mengatakan “Ehhh, ini aku lagi di mano ye?” yang artinya “Ehhh ini aku lagi di mana ya?”.

Jika anak-anak di Palembang menganggap bahwa modern hanya diartikan sebagai gaya hidup berbahasa Ibu Kota, nongkrong di kafe, sering main ke mall, update media sosial dengan hal-hal yang sebisa mungkin terlihat menarik, menampilkan kesan “gue sekarang gaul loh”, menurut saya lebih baik tidak usah berharap kalian sudah maju. Kalian hanyalah budak konsumerisme. Jakarta dan sekitarnya saya anggap sebagai kota-kota yang sudah maju bukan karena hal-hal tersebut, tetapi karena kebanyakan orang-orangnya memiliki pola pikir yang lebih maju, cara mereka betindak terhadap isu-isu global, dan kemampuan mereka beradaptasi dengan perubahan. Hal-hal tersebut sampai saat ini masih belum saya temukan di sebagian besar masyarakat Palembang.
Perubahan masyarakat kota kelahiran saya membuat saya seperti merasakan double absence, sebuah istilah dalam bahasa Prancis untuk para keturunan imigran yang tidak merasa menjadi bagian dari negara tempat mereka lahir dan tidak juga menjadi bagian dari negara orang tua mereka. Saya merasa tidak sepenuhnya menjadi bagian dari Jakarta dan sekitarnya karena jati diri saya adalah sebagai orang Palembang, akan tetapi kehidupan dan cara masyarakat Palembang berperilaku saat ini juga membuat saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari kota ini. Setiap pulang ke Palembang saya selalu merasa Palembang sudah hampir tidak ada bedanya lagi dengan kawasan Ibu Kota. Padahal, saya selalu berharap ketika pulang saya ingin merasakan atmosfer “daerah” di Palembang seperti pada saat pertama kali saya meninggalkan kota tersebut.
Bertransformasi menjadi lebih baik adalah sebuah keharusan, akan tetapi jangan sampai kehilangan jati diri. Indonesia begitu menarik karena keanekaragaman budayanya. Jangan sampai hal-hal inti seperti bahasa dan karakter kedaerahan hilang semata-mata karena keinginan untuk dianggap gaul dan modern. Jika ingin berubah, sebaiknya bukan hanya gaya hidup yang diubah. Perubahan tersebut juga dibarengi pola pikir yang juga lebih maju dan lebh selektif akan sesuatu yang masuk ke dalam kehidupan kita.
Kommentare