top of page

Seminar Kepemimpinan (dan pertanyaan-pertanyaan iseng tentangnya)

  • Gea Citta
  • Oct 14, 2016
  • 4 min read

Apabila mengamati hal-hal kecil di sekitar bisa disebut hobi, maka itu hobi saya nomor satu. Hobi nomor dua adalah membaca apa saja, dan nomor tiga—jika disempatkan—menuliskan rasa penasaran yang muncul setelahnya. Salah satu barang yang hari-hari ini kerap saya perhatikan adalah poster publikasi kegiatan seminar bertema kepemimpinan, yang kebetulan belakangan ini sepertinya jadi tema favorit beragam panitia acara. Setidaknya di kampus saya sendiri, mulai dari menteri, pengusaha (yang sering kali ditulis sebagai entrepreneur), sampai pendiri organisasi (yang sering kali ditulis start-up) pernah diundang menjadi pembicara. Meski saya tidak meluangkan waktu untuk mengamati poster apa yang sedang dipasang, saya melewatinya setiap hari, dan ukurannya yang besar tanpa desain apik pun, pasti terbaca oleh mata saya.


Dalam beberapa kegiatan seminar ini saya senang memperhatikan kategori gender daftar pembicaranya. Dengan tema-tema yang bisa saya sebut tidak terlalu spesifik, kadang-kadang calon audiens hanya ditawari perspektif dari kacamata “pemimpin” laki-laki. Tentu ada bias gender dari perhatian ini. Tapi bias ini bukan didorong oleh alasan remeh temeh seperti rasa haus panggung melainkan oleh standpoint bahwa pengalaman seorang perempuan yang berkiprah sebagai pengambil keputusan juga layak didengarkan. Merespon ini, saya mencoba berbaik sangka, “ah, mungkin memang sedang tidak ada pembicara bergender perempuan yang bisa hadir di hari-H acara”. Saya percaya, komposisi pembicara yang adil-gender mewakili kualitas pikiran para panitia atau institusi penyelenggara. Dan kemampuan mempertimbangkan hal ini tidak khusus dimiliki oleh, misalkan, kedutaan besar Norwegia di Jakarta, namun juga mungkin sekali dilakukan oleh siapa saja termasuk paling tidak, warga kampus saya. Kita hanya perlu kepekaan lebih dan komitmen untuk mewujudkan nilai kesetaraan di ruang publik dalam merancang sebuah kegiatan seminar.


Terlepas dari perhatian kecil ini, di dalam kepala saya punya pertanyaan yang lebih mendasar lagi tentang tema kepemimpinan itu sendiri: apakah kita memang betul sedang mengalami krisis kepemimpinan? Jika krisis ini bukan sekadar imajinasi panitia acara yang kehabisan ide segar, apakah maraknya kegiatan seminar memang ditujukan memperbaiki situasi krisis tadi? Jika tujuannya demikian, bagaimana kita mengukur pencapaian tujuan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin lebih cocok dijadikan pertanyaan penelitian skripsi agar jawabannya memuaskan. Akan tetapi, jika bisa diperbincangkan dalam obrolan harian, tentu akan lebih santai dan menarik karena lebih banyak hal yang bisa digali dari teman bicara kita, si penyelenggara acara. Pertanyaan tadi menurut saya penting agar seminar-seminar—setidaknya di kampus saya sendiri—punya daya tarik yang berpengaruh pasca-seminar berlangsung. Artinya, bukan seminar yang ala kadarnya demi menghabiskan anggaran. Seminar yang digarap serius tidak bisa hanya mejual jargon inspiratif, inovatif, dan imbuhan –if lainnya. Seminar yang serius juga tidak bisa berhenti pada desain poster apik yang punya nilai estetik. Seminar yang serius—terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan—mesti jadi wadah bertemunya argumentasi pikiran antara pembicara dan audiensnya. Seminar-seminar ini hanya berguna dan berpengaruh ketika ada provokasi gagasan yang dibawa pulang. Jika tidak, tujuan seminar yang diharapkan mampu mengatasi krisis kepemimpinan di negara ini hanya mereproduksi jargon di poster A2.


Sumber gambar : http://www.straitstimes.com/

Salah satu seminar favorit yang pernah saya hadiri adalah rangkaian acara Singapore Writers Festival tahun lalu. Pada November 2015, pengajar Filsafat Ekonomi dan Pemikiran Politik dari Universitas Harvard, Michael Sandel. Michael Sandel dikenal sebagai akademisi yang kritis terhadap masyarakat yang ramah terhadap nilai-nilai mekanisme pasar—Sandel bergurau, “itu sebabnya mengapa saya merasa tema kuliah umum ini cocok untuk publik di Singapura.” Pernyataan tesisnya kira-kira berbunyi, “kita kini mengalami pergeseran dari ekonomi pasar (market economy) ke masyarakat pasar (market society)”. Pergeseran ini ia sebut sebagai the extension of economy to the non-money domain.


Sandel mengilustrasikannya dengan mengajak audiens untuk berbagi opini mengenai pemberian insentif (the economy) kepada anak usia sekolah dasar sebagi upaya menghidupkan kultur membaca (non-economy domain). Pertanyaannya, siapa yang menyetujui/tidak setuju dengan bentuk insentif 2$ per buku agar anak-anak menyenangi kegiatan membaca? Melalui buku-buku dan kuliahnya, Sandel sedang memancing perdebatan publik, khususnya di Amerika Serikat. Berdasarkan pemaparannya, ia tidak bermaksud memberi jawaban benar/salah atau tepat/tidak tepat atas pertanyaan yang ia ajukan mengenai pergeseran yang tengah terjadi. Ia ingin mengajak kita berpikir bersama dan merumuskan ulang apa yang tidak bisa dibeli oleh uang: apakah sifat tanpa pamrih (altruis) manusia mungkin hilang akibat faktor insentif berupa uang? apakah dengan menjadikan uang lebih dari sekadar alat tukar, keadilan dan kesetaraan kesempatan dapat didistribusikan secara merata di masyarakat (pasar)?, dsb.


Meski bukan secara khusus bertema kepemimpinan, pengalaman saya menonton seminar/kuliah umum ini saya gunakan untuk memberi gambaran bagaimana seharusnya seminar yang baik berjalan. Tentu ini merupakan patokan yang sifatnya subjektif. Namun, jika kita konsisten pada tujuan mengatasi krisis kepemimpinan, seminar yang kita adakan tidak bisa sekadar business as usual. Seminar yang serius perlu menyampaikan pesan bahwa kecakapan pertama yang menjadikan seseorang layak disebut pemimpin adalah kecakapan mengolah beragam sudut pandang untuk menyelesaikan berbagai jenis masalah dengan bijak. Melalui terms of references, panitia bisa mengarahkan pembicara untuk bicara lebih dari tips dan kisah suka-duka dalam memimpin. Pembicara yang perlu dihadirkan adalah pembicara yang mampu menunjukkan kualitas isi pikirannya dan memicu brainstorming kolektif di dalam ruang seminar. Dengan kualitas pembicara dan komitmen serius panitia acara, saya bisa lebih optimis pada seminar-seminar bertema kepemimpinan yang berdesain apik dengan diksi dengan rima cantik.

Comments


ARTIKEL TERBARU

ARTIKEL PILIHAN

KATEGORI

Komentar

bottom of page