Kita adalah Manusia, Bukan Laki-laki atau Perempuan, Bukan Tua atau Muda
- Friends Du Jour
- Oct 5, 2016
- 5 min read

Semenjak tinggal di Depok, saya sering bepergian dengan kereta. Sudah hampir 4 tahun pengalaman bepergian tersebut menyimpan begitu banyak cerita dan pelajaran hidup bagi saya. Satu hal yang membuat saya banyak belajar ketika bepergian dengan kereta adalah menyaksikan betapa manusia sepertinya dituntut untuk bertindak sesuai perannya dalam masyarakat. Manusia sebagai laki-laki, perempuan, orang tua dan anak muda.
Di kereta, saya selalu memilih untuk berdiri meskipun banyak tempat duduk yang kosong. Alasannya sederhana, saya merasa masih kuat hanya untuk berdiri sekitar 30 menit atau mungkin 1 jam jika kereta terhenti di stasiun tertentu. Saya hanya duduk ketika saya benar-benar letih atau benar-benar banyak tempat duduk yang kosong. Pada saat pertama kali mengetahui bahwa ada gerbong kereta yang dikhususkan untuk perempuan, saya merasa sedikit tergelitik. Hal tersebut ternyata demi alasan keamanan. Masuk akal bagi saya, mengingat memang kerap kali terjadi kejadian buruk yang menimpa perempuan saat di kereta. Namun, saya rasa sepertinya semua gerbong adalah milik perempuan. Betapa tidak, di gerbong untuk semua jenis kelamin saja, perempuan masih selalu harus didahulukan. Setiap ada tempat duduk yang kosong laki-laki jarang langsung duduk. Mereka selalu menawarkan pada para perempuan terlebih dahulu. Saya tahu mereka mungkin melakukan hal tersebut karena ingin bersikap layaknya gentleman. Saya sangat mengapresiasi hal tersebut, tetapi bagi saya, di gerbong campur semua punya hak yang sama, tidak memandang laki-laki atau perempuan, kecuali bila mereka adalah ibu hamil atau orang-orang disabilitas.
Sering kali ketika sedang berdiri dan orang yang duduk di depan saya turun, saya tetap membiarkan kursi tersebut kosong. Seperti biasa, ketika situasi seperti ini terjadi, para laki-laki melihat ke saya berulang kali dengan pandangan bingung. Saya tahu mereka merasa heran mengapa saya tidak duduk padahal ada kursi kosong, hingga mereka akhirnya menyentuh bahu saya dan mengatakan “Mbak, duduk mbak”. Saya selalu merespon dengan “Oh iya makasih, saya lebih suka berdiri” atau “Mas kalo mau duduk, duduk aja”. Saya terkadang tersenyum melihat reaksi para laki-laki ini. Ada yang enggan duduk meski sudah saya persilakan. Terkadang saya harus berbohong dengan “Saya bentar lagi turun soalnya” agar mereka mau duduk. Ada juga yang langsung duduk tetapi masih dengan ekspresi wajah ga enakan, yang bagi saya seolah menunjukkan bahwa mereka berkata dalam hati “duh, gue kan laki-laki”.
Pengalaman lain saat di kereta terjadi baru-baru ini ketika saya pulang dari stasiun Sudirman menuju stasiun UI. Saya memilih duduk karena saat itu saya benar-benar kelelahan setelah beraktivitas dari pagi. Selang beberapa stasiun, seorang ibu naik dan berdiri di hadapan saya. Saya sudah dapat membaca gerak tubuh ibu tersebut bahwa ia menginginkan tempat duduk saya. Saya berpura-pura tidak tahu, bukan karena saya enggan berdiri karena sedang lelah, akan tetapi saya menunggu keberaniannya untuk mengatakan langsung kepada saya bahwa ia ingin duduk. Berbicara!, bagi saya, begitulah seharusnya seorang manusia bersikap ketika menginginkan sesuatu. Kita diberi akal pikiran dan mulut, sampaikanlah melalui mulut apa yang kita inginkan dengan cara yang beradab. Hanya dengan memasang muka memelas, menghela nafas dengan kencang sambil melihat ke arah orang yang duduk, atau menggerak-gerakan kaki tanda letih berdiri belum tentu membuat orang lain paham dengan maksud kita. Sang ibu beruntung karena akhirnya ada seorang bapak berusia 70an yang sepertinya ngeh dengan maksud ibu tersebut. Bapak ini akhirnya berdiri sambil berkata “Ayo duduk, saya mah masih kuat.”
Menurut saya, orang lain sepertinya tentu akan dengan senang hati memberikan tempat duduk apabila kita memberi alasan mengapa kita ingin duduk. Apabila benar-benar kelelahan dan tidak dapat tempat duduk, katakan saja “Maaf saya benar-benar lelah dan tidak kuat, boleh gantian duduk?”. Menurut saya, ini lebih manusiawi. Jangan menginginkan tempat duduk hanya karena kita lebih tua sehingga yang muda harus berdiri. Ini bukan alasan yang dapat diterima untuk saya. Mungkin terkesan kurang etis bagi beberapa orang tetapi saya lebih memilih menjadi logis daripada etis. Bagi saya muda belum tentu kuat dan tua belum tentu lemah secara fisik. Saat turun di stasiun tujuan saya masih memikirkan bahwa hanya karena usia kita lebih tua, bukan berarti kita harus menanamkan pikiran di otak bahwa kita harus selalu duduk di kereta. Saya yakin bahwa orang-orang yang usianya 30-50 tahun sebenarnya masih kuat jika harus berdiri.
Lain lagi dengan cerita teman saya tentang seorang laki-laki yang tiba-tiba muntah di kereta. Entah mungkin karena saat itu kondisinya sedang lemah, sedang mabuk, atau mungkin tidak enak badan. Intinya orang tersebut mungkin sedang tidak dalam kondisi prima. Alih-alih menanyakan “Mas gapapa?”, reaksi yang muncul pertama kali dari orang-orang di kereta pada saat itu adalah “Masih muda kok muntah”. Saya dan beberapa teman yang mendengar cerita tersebut merasa sangat heran dan langsung memberi respon yang sama, “Lah apa hubungannya?!”. Teman saya juga ada yang berkomentar “Gak tua, gak muda, kalau dia sakit ya sakit aja”. Saya paham kondisi orang-orang saat di kereta. Mungkin sebagian terkadang kesal dan lelah karena menunggu perjalanan saat kereta berhenti lama. Sebagian lagi mungkin lelah setelah pulang kerja. Namun, bukan berarti kita menjadi tak acuh dengan orang lain di sekeliling kita. Hanya karena yang muntah laki-laki yang masih muda lantas kita tidak lagi bersimpati kepadanya? Saya bertanya-tanya apakah reaksi orang-orang tersebut akan tetap sama apabila saat itu yang muntah perempuan atau mungkin orang yang sudah tua.

Tidak hanya di kereta, pelajaran hidup tentang peran sosial juga saya dapatkan saat menyeberang jalan. Suatu ketika saya menyeberang menuju gang kosan saya. Seperti biasa sulit sekali untuk menyeberang di saat angkot berhenti sembarangan menutupi pejalan kaki, lampu lalu lintas yang tidak berfungsi, dan mobil-mobil tidak mau mengalah. Saat itu mungkin ada sekitar belasan penyeberang. Hampir semuanya perempuan, hanya ada seorang laki-laki. Ketika akan menuju trotoar di tengah, posisi mobil melaju dari sebelah kanan. Laki-laki yang akhirnya menjadi “korban makian” beberapa perempuan saat itu berada di sebelah kiri. Pada saat para penyeberang berada di trotoar dan mobil-mobil melaju dari sebelah kiri, laki-laki tersebut berpindah posisi ke paling ujung sebelah kanan. Terang saja para perempuan tersebut langsung berteriak kecewa “heeeeh gimana sih!!!”. Mereka berharap bahwa laki-laki tersebut akan memberhentikan laju mobil. Saya langsung mengerutkan dahi dan berkata dalam hati “Lah, emang ada yang salah?”.
Laki-laki memang sering kali mengambil inisiatif untuk memberhentikan mobil-mobil yang melintas saat menyeberang karena para perempuan sepertinya lebih takut. Namun, bukan berarti semua laki-laki berkewajiban untuk melakukan hal yang sama. Mungkin saja kebanyakan dari mereka berinisiatif bukan karena mereka laki-laki, tetapi karena mereka berani. Oleh karena itu, hanya karena ada laki-laki yang tidak mau berada di barisan paling dekat dengan laju datangnya mobil dan memilih berganti posisi menyeberang, bukan berarti dia “bukan laki-laki” dan dicap tidak bertanggungjawab. Bagaimana bila ia punya pengalaman buruk saat menyeberang yang membuatnya trauma? Menilai perilaku seseorang itu mirip dengan membahas budaya dengan teori gunung es (Iceberg Theory). Kita tidak dapat menilai yang terlihat begitu saja. Pasti ada nilai yang mendasari seseorang berperilaku.
Setiap orang memiliki peran masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat. Ada saatnya orang-orang berperan sesuai dengan jenis kelamin atau usia mereka. Laki-laki berperan sebagai laki-laki, perempuan berperan sebagai perempuan, anak muda dan orang tua berperan sesuai usia mereka. Namun, Ingatlah bahwa apabila orang-orang tersebut sedang tidak berperan sesuai dengan jenis kelamin atau usianya, bukan berarti mereka bukan manusia. Kita harus tetap menghargai mereka!
Comments