Menjadi Pintar untuk Mengetahui bahwa Kita Belum Pintar
- Friends Du Jour
- Sep 20, 2016
- 3 min read

Saya berteori bahwa ketika seseorang menganggap bahwa dirinya masih kurang pintar, orang tersebut adalah orang yang telah pintar. Menurut saya, untuk mampu menilai apakah diri kita pintar atau belum pintar, terlebih dahulu kita harus menjadi pintar. Sebenarnya, setiap manusia selalu dalam kondisi pintar tetapi tidak menyadarinya. Hal ini dipengaruhi oleh di mana dan sedang bersama siapa kita pada saat itu. Mari saya ajak kalian masuk ke dalam sebuah contoh. X adalah seorang mahasiswa yang mengetahui bahwa 1+1= 2; sebuah pelajaran matematika dasar yang pertama kali diajarkan pada seseorang. Namun, dengan pengetahuan tersebut X tidak merasa pintar karena setiap hari ia berinteraksi dengan dosen dan teman-teman sebayanya yang juga mengetahui bahwa 1+1=2. Padahal, hanya dengan pengetahuan dasar tersebut X adalah orang yang pintar. Ia hanya tidak sadar bahwa di tempat lain ada banyak orang yang masih belum mengetahui bahwa 1+1=2. Tempat tersebut bisa saja sekolah khusus untuk para bayi berusia 1-3 tahun atau sebuah daerah pelosok yang semua penghuninya adalah orang-orang usia produktif tetapi tidak pernah mengenyam pendidikan .
Saya sangat menyukai bagaimana setiap orang mendefinisikan pintar secara berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa pintar berarti harus selalu menjadi nomor satu di kelas, memiliki wawasan yang luas, mampu menjelaskan sesuatu kepada orang lain dengan cara yang sederhana. Ada pula yang menganggap dirinya pintar apabila ia tidak mengalami kesulitan ketika harus menjawab pertanyaan dengan baik. Bagi saya, tidak penting bagaimana mereka mendefinisikannya, yang terpenting adalah mereka sadar bahwa mereka pintar. Sama seperti orang lain, saya juga mendefinisikan pintar dengan cara saya sendiri. Saya merasa pintar ketika saya mengetahui hal baru yang tidak saya ketahui sebelumnya dan saya menyadari bahwa saya belum pintar ketika saya membagikan “kepintaran” yang saya punya kepada orang lain.
Singkat cerita, untuk memperjelas maksud menjadi pintar untuk mengetahui bahwa kita belum pintar, saya akan memberikan sebuah contoh berdasarkan pengalaman hidup saya. Di sore hari menjelang malam, saya berbincang-bincang dengan rekan kerja saya dan seorang mahasiswa yang baru pertama kali saya temui. Setelah berbincang sekitar lima menit, kami bertiga pun sampai pada perbincangan tentang dunia filsafat. Dalam perbincangan ini, rekan saya memiliki pengetahuan tentang filsafat dari sebuah podcast yang baru ia dengarkan di waktu pagi. Saya memiliki pengetahuan tentang filsafat dari mata kuliah Dinamika Pemikiran Prancis (DPP) yang saya ikuti saat semester 6 dan dari buku-buku yang saya baca. Mahasiswa yang saya temui juga memiliki pengetahuan yang sama dari buku-buku yang ia baca dan forum diskusi yang kerap kali ia ikuti setiap minggu. Di dalam pertemuan itu, saya dapat mengatakan bahwa kami bertiga adalah orang yang pintar karena memiliki pengetahuan tentang hal yang diperbincangkan.
Layaknya standardisasi di sekolah atau universitas, yaitu para siswa dan mahasiswa diuji melalui soal-soal atau tugas pada saat UTS dan UAS, saya pun menguji apakah saya pintar atau belum pintar dengan membagikan ilmu yang saya miliki dalam percakapan bersama dua orang tersebut. Saya juga berusaha menjelaskan teori-teori beberapa filsuf Prancis untuk melihat seberapa jauh saya memahami pengetahuan yang saya miliki dan membandingkannya dengan pengetahuan lawan bicara saya.
Dari perbincangan yang berlangsung sekitar 20 menit yang akhirnya harus saya akhiri karena saya harus pulang (kedua lawan bicara saya masih melanjutkan perbincangan), saya menjadi pintar karena menerima begitu banyak informasi yang belum pernah saya dapatkan dari kelas DPP maupun buku yang saya baca. Waktu 20 menit tersebut sangat berharga karena saya menjadi pintar. Otak saya terisi pengetahuan baru. Di saat yang sama, saya menyadari bahwa saya belum pintar karena tidak memiliki semua informasi tentang hal yang kami perbincangkan. Saya menyadari bahwa saya belum pintar karena masih merasakan momen-momen seperti tidak dapat memberikan contoh yang lebih konkret, tidak mampu mengutip pernyataan para filsuf karena lupa. Intinya, keadaan ketika saya merasa seharusnya saya dapat menjelaskan lebih baik lagi apabila pengetahuan saya lebih kaya.

Pada hari itu saya belajar memaknai kutipan “Jika kamu adalah orang terpintar di suatu ruangan, maka kamu berada di ruangan yang salah”. Saya memaknai bahwa ruangan tersebut adalah ruangan yang salah bukan karena diisi oleh orang-orang yang tidak lebih pintar dari pada kita, tetapi diisi oleh orang-orang pintar yang tidak menyerap kepintaran orang lain. Ketika seseorang mendapati dirinya sebagai orang terpintar di suatu ruangan, itu berarti ia menjadikan dirinya sebagai pusat. Ia hanya fokus pada pengetahuan yang ia miliki dan mengabaikan pengetahuan orang lain di ruangan yang sama. Orang-orang yang pintar adalah mereka yang senantiasa saling berbagi "kepintaran masing-masing". Sesungguhnya kita tidak dapat melihat lapis langit kedua apabila kita tidak berada di langit pertama. Oleh karena itu, kita memang harus menuntut ilmu setinggi langit, bukan untuk mendapati ilmu kita yang begitu tinggi, akan tetapi supaya kita mampu melihat bahwa di atas langit masih ada langit, begitu pun seterusnya.
Comments