Banggalah Menjadi “Anak Daerah”
- Friends Du Jour
- Sep 12, 2016
- 4 min read

Secuil Kisah Penyesuaian Diri di Tanah Perantauan
Bagi sahabat seperantauan sekalian, diharapkan tulisan ini dapat membawa pencerahan dan keyakinan lebih kepada kalian. Bagi sahabat sekalian yang tidak merasa sebagai anak daerah, semoga tulisan ini dapat menjadi pembelajaran yang memberikan motivasi untuk lebih berprestasi.
Tidak begitu jelas dari mana istilah “anak daerah” berasal. Namun, logikanya, istilah ini muncul di kota besar. Demikian berbedanya karakteristik orang yang berasal dari kota besar dan yang berasal dari kota kecil ataupun desa sehingga istilah tersebut muncul; walaupun sekarang perbedaan itu sedikit demi sedikit semakin memudar. Istilah anak daerah semakin terasa dalam lingkungan kampus di ibukota, dibandingkan di kota-kota lain.
Sejak awal, aku selalu bangga akan jati diriku sebagai anak daerah. Dalam keyakinanku, anak daerah selalu memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan rekannya yang berasal dari kota besar. Kemampuan terbesar anak daerah berasal dari semangat juangnya yang tinggi di tanah perantauannya. Beruntunglah kita yang merupakan anak daerah. Jauh dari kampung halaman membuat kita berkembang menjadi anak yang mandiri dan tangguh. Dengan tidak memiliki siapa-siapa yang dapat dijadikan sandaran dibarengi dengan berbagai macam keterbatasan yang ada, anak daerah memiliki pola pikir bahwa semua hal berkenaan dengan kehidupannya merupakan tanggung jawabnya. Ia berprestasi atau tidak merupakan tanggung jawabnya. Ia memiliki banyak teman atau tidak, itu tergantung padanya. Ia mampu hidup berkecukupan atau tidak bergantung pada dirinya. Ia mampu bersaing dengan yang lain atau tidak, semua ada di pundaknya sendiri. Anak daerah terbiasa berpikir semua pencapaian atau kemunduran yang terjadi merupakan hasil tindakan dan perilakunya sendiri di tanah perantauan. Oleh karena itu, mereka terbiasa berjuang keras demi kesuksesan kehidupan perkuliahan mereka sendiri tanpa menyalahkan orang lain. Hal ini membawa anak daerah sering memiliki kelebihan dan meraih berbagai pencapaian dalam masa studinya.

Anak daerah juga menjadi “raja” daerah asalnya di dalam kelas atau komunitasnya; selalu menjadi yang paling tahu akan segala hal terkait daerah asalnya; sehingga sering menjadi kebanggaan kecil tatkala topik pembicaraan menyerempet daerah asalnya. Aku sangat senang ketika teman-temanku bercerita bahwa mereka akan berlibur ke Malang dan mulai bertanya-tanya kepadaku. “Djod, minggu depan aku ke Malang lhooo. Rekomendasiin tempat hitz doong”, “Kulineran yang enak di Malang apa aja Djood?”, “Djod aku lagi di Malang nih. Enak banget sini tempatnyaa”, dan masih banyak lagi. Suwun, guys, kalian tidak tahu betapa sebenarnya senang hatiku ketika kalian menunjukkan antusiasme akan kampung halamanku dengan tulus kepadaku.
Anak daerah “tulen” memiliki kompetensi penggunaan bahasa yang lebih banyak. Ia mampu berbicara dalam bahasa tradisional daerah asalnya dan memiliki perbendaharaan kata yang lebih kaya. Hal ini sebenarnya sangat membantu dalam belajar terutama belajar bahasa baru. Selain itu, anak daerah cenderung memiliki lidah yang “lentur” sehingga pandai dalam menirukan logat bahasa manapun. Meskipun demikian, tidak jarang logat daerah yang kental sulit untuk dihilangkan. Pada saat pertama kali aku berinteraksi dengan teman-teman baruku di kampus, banyak sekali komentar yang keluar dari mereka. “Lo kok medhok banget sih Djood”, “Oooh, wong jowo toh mas”, “Nama saya Djhodhi” (mengulang kalimat perkenalanku dengan logat di-medhok-medhok-kan), dan lain sebagainya. Padahal, aku selalu yakin saat itu kalau aku sudah berbicara dengan logat orang Indonesia yang biasa. Akan tetapi, orang-orang selalu bisa menyadari perbedaan logat tersebut. Terkadang, bahkan teman-teman sering melontarkan berbagai komentar ketika mengetahui saya berbicara bahasa Jawa, mulai dari “Ojo nesu, ojo nesu”, “Aku rapopo”, sampai “Tak is*ngi lambemuu...; emang ‘tak is*ngi lambemu’ artinya apa, Djod?”. Sudah biasa. Namun, sekarang komentar orang-orang sudah berubah menjadi “Oh, orang Jawa... kok engga keliatan ya?”, “Kok gak ada medhok-medhok-nya sama sekali ya?”, “Coba dong ngomong Jawa, Djod”, dan seterusnya. Hahaha... Sekarang lidahku sudah menjadi lidah wong jowo internasional. Bahkan ketika kuliah, tidak jarang aku diminta membawakan acara dalam bahasa-bahasa asing maupun bahasa Indonesia. Sungguh menarik bukan?
Momen terkerenku sebagai anak daerah adalah ketika aku bercakap-cakap dengan teman sedaerah menggunakan bahasa tradisional kami yang orisinal dan logat yang kental di depan teman-teman dari kota besar, dengan cepat dan lugas, lalu tertawa sok asik (padahal topiknya biasa saja), sembari terlihat bersinar di ruangan itu; seakan hanya kami yang tahu apa yang dibicarakan. Perasaan ini hampir sama seperti yang aku rasakan ketika aku dengan sengaja mengeraskan volume bicaraku dalam bahasa Indonesia dengan teman saat aku berada di tengah-tengah suatu distrik perbelanjaan ramai di Seoul, Korea Selatan. Semakin keren lagi ketika teman-teman kota penasaran dan menanyakan isi percakapan; walaupun kenyataannya mereka biasanya juga tidak terlalu peduli.
Selama kuliah di kampus perjuangan di ibukota, aku tidak segan-segan menunjukkan jati diriku sebagai anak daerah di hadapan teman-teman, bahkan pertemuan organisasi. Terkadang, secara disengaja atau tidak pun aku sering “menginvasi” percakapan bersama teman dengan aku dan kamu. Selain memantapkan jati diri dalam benak orang-orang sekitarku, secara tidak langsung aku juga ingin menanamkan pemikiran bahwa aku-kamu bukanlah hal yang norak untuk dikatakan. Sebenarnya hal ini juga kulakukan karena aku sendiri lebih nyaman menggunakan sapaan bahasa Indonesia yang lumrah digunakan di daerah asalku itu.
Saat-saat pertama terekspos dengan perlakuan lo-gue, aku merasa sedikit tidak nyaman. Kata lo terutamanya, terasa amat kasar di telingaku untuk kali-kali yang pertama. Sungguh merupakan secuil gegar budaya yang kualami kala itu. Ketika aku baru hidup beberapa minggu di Jakarta (walaupun lebih tepatnya di Depok), aku menemukan realita bahwa aku-kamu umumnya digunakan anak muda dalam hubungan sepasang kekasih atau hubungan dua anak gadis yang “baik hati dan berhati lembut”. Awalnya, aku sulit menerima realita ini. Akan tetapi, lama kelamaan aku mulai mengerti dan menganggap hal yang biasa.
Untuk sahabat-sahabat yang sedang menuntut ilmu jauh dari rumah, yakinlah bahwa semua kesulitan yang dialami akan segerea berlalu. Semua ada prosesnya. Penyesuaian diri memang membutuhkan waktu. Kalian tidak sendiri. Banyak sesama anak perantau juga telah melewati badai dalam kehidupan studinya dan telah sukses menjadi mahasiswa yang berprestasi. Oleh karena itu, tetaplah berjuang dan bekerja keras serta berdoa. Anak daerah memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki anak kota, dan kita semua patut bangga akan hal itu. Banggalah menjadi anak terpilih yang mewakili daerah asalmu, banggalah menjadi anak yang berprestasi.
Comments