Mengapa Kita Bekerja?
- Friends Du Jour
- Sep 11, 2016
- 4 min read

Ketika berbicara tentang pekerjaan, banyak orang yang tidak dapat memahami dua unsur yang hampir sulit dibedakan ketika melakukan pekerjaan, yaitu “nyaman” dan “menikmati”. Pernahkah kalian memikirkan alasan mengapa kalian tetap setia pada pekerjaan kalian saat ini? Apakah karena kenyamanan yang diberikan pekerjaan tersebut, atau karena kenikmatan yang kalian rasakan ketika bekerja?
Sebelum masuk ke tahap mengetahui apakah kita berada pada level “nyaman” atau “menikmati” pekerjaan, tentu kita pernah melewati salah satu dari beberapa fase awal ketika memilih untuk bekerja. Berikut beberapa alasan bekerja yang mungkin pernah kita temukan pada diri sendiri, teman, kerabat, dan orang-orang di sekeliling kita.
1. Ingin Meringankan Beban Orang Tua

Di dunia ini memang ada orang tua yang tidak peduli dan tidak sepenuhnya mencintai anak mereka. Namun, apakah orang tuamu termasuk orang tua yang merasa terbebani dengan keberadaan anak-anaknya? Untuk orang-orang yang memiliki kondisi ekonomi yang lemah, hal ini adalah sesuatu yang wajar. Kita dapat memahami bahwa mereka harus berusaha secepat mungkin membantu orang tuanya agar kondisi ekonomi mereka stabil. Akan tetapi, alasan ini sangat sering ditemukan pada orang-orang yang kondisi ekonominya relatif stabil.
Mereka begitu terburu-buru mencari pekerjaan dengan mengatasnamakan “meringankan beban orang tua”. Akibatnya, sering kali mereka menerima pekerjaan yang tidak sesuai. Tindakan terlalu terburu-buru dan "asal dapat pekerjaan" ini dapat membuat mereka berada dalam kemunduran pencapaian. Menjadi mandiri tidak sekedar lepas dari tanggungan finansial orang tua. Kalian pasti pernah mendengar ucapan “kalau bukan untuk kamu ya untuk siapa lagi” dari orang tua. Ingat, salah satu kebahagiaan terbesar orang tua adalah memberikan apapun yang ia miliki untuk anaknya. Sangat mulia memang bila semua itu kita lakukan untuk membahagiakan orang tua dan membuktikan kepada mereka bahwa kita telah dapat berusaha dan memiliki penghasilan sendiri. Akan tetapi, hati-hati, sering kali upaya ini membawa kita pada level burnout. Berusahalah untuk bertindak wajar dalam suatu situasi.
2. Menyandang Status “Laki-laki”

“Jadi laki-laki itu tanggungjawabnya besar”
“Kamu itu akan menghidupi anak orang nantinya”
“Mau dikasih makan apa nanti anak dan istrimu?”
“Ya itu kan sudah kewajiban laki-laki”
“Laki kok masih minta sama orang tua”
Kalimat-kalimat ini sebagian besar masih dilontarkan oleh para perempuan yang mungkin “ikut-ikutan” mendukung kesetaraan gender. Tidak ingin kalimat-kalimat ini menghantui, para laki-laki akhirnya mencari pekerjaan.
3. Tidak Ingin Disebut Pengangguran

"Kerja di mana sekarang?” seketika jantung langsung berdebar kencang. Pernah mengalami hal ini?
Apa yang salah dengan pengangguran? Status sebagai pengangguran seolah menjadi momok yang begitu menakutkan. Kita begitu takut orang lain akan berkata you have no life karena status kita sebagai pengangguran. Pernahkah terpikir olehmu apakah orang-orang yang bekerja benar-benar “hidup” dan tahu makna kehidupan hanya karena mereka bekerja?
Stereotip orang yang tidak bekerja hanya akan menjadi sampah masyarakat sudah jelas terbukti dari banyaknya orang yang menjadi pengemis, peminta-minta, pencuri, hingga menjadi orang gila karena tidak menemukan pekerjaan. Pengangguran terkesan tidak punya kehidupan, padahal mereka hanya tidak menghabiskan waktu di jalan, berdesakan di kereta atau angkot, tidak duduk di meja dan menghadap komputer selama 8-9 jam, dan tidak menerima pemasukan. Definisi pengangguran sebenarnya ada di tangan kita. Jika kalian belajar sesuatu yang baru dari internet, bergabung di MOOC, mengikuti kegiatan volunteer, mencari inspirasi, menulis, membaca buku di perpustakaan ketika belum memiliki pekerjaan, apakah kalian masih menganggap diri sebagai “pengangguran”?
4. Ingin Kaya dan Punya Karier Bagus

Berpakaian menarik, disanjung karena menduduki posisi yang dianggap elit dan seleksinya begitu ketat, dipandang hebat oleh keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Sudah pasti semua orang pernah menginginkan hal tersebut. Semua orang bermimpi berpenghasilan banyak seperti pengusaha sukses, kerja di tempat-tempat yang begitu prestisius seperti United Nations dan pemerintahan. Orang-orang seperti ini percaya bahwa untuk meraihnya adalah dengan mulai bekerja, mencari dan mengumpulkan uang, senantiasa memperbaiki kualitas diri, bermimpi besar dan berusaha keras hingga mencapai apa yang mereka impikan.
5. Menganggap Bekerja sebagai Suatu Keharusan dan Rutinitas

Paradigma absurd ini banyak kita temukan pada para fresh graduate di Indonesia. kebanyakan dari mereka merasa bahwa setelah lulus gerbang yang menanti adalah pekerjaan. Padahal, ada banyak opsi yang dapat dilakukan setelah lulus kuliah; yang terkadang lebih menambah pengalaman hidup, misalnya tarvelling, mengikuti kelas kursus, volunteer, dsb. Alih-alih mencoba hal-hal tersebut, mereka memilih bekerja karena merasa itulah kelaziman yang ada di masyarakat. I work because society tells so. Hanya karena semua orang bekerja, mereka pun merasa harus bekerja. Definisi bekerja pun menjadi sempit, selalu diasosiasikan pada pergi ke kantor dan duduk di meja. Sebenarnya, masih banyak contoh lain bekerja seperti ikut penelitian bersama dosen.
Paradigma ini terkadang juga membuat seseorang tidak meresapi makna bekerja. Orang-orang menjadi tidak sepenuh hati melayani orang lain. Mereka terbiasa mengikuti sistem, tidak tahu pasti alasan mereka bekerja. Semua seolah sudah terprogram. Bangun pagi, mandi, sarapan, pergi ke kantor, pulang ke rumah. Bagaikan gelas yang terisi tetapi sebenarnya kosong. Tidak peduli orang lain puas atau tidak dengan hasil yang kita kerjakan, yang penting kita tidak keluar dari sistem.
6. Supaya Ada yang Dikerjakan

Jangan salah, masih banyak orang yang mencari dan menginginkan pekerjaan karena mereka merasa bingung kalau hanya berdiam diri di rumah. “yang penting sibuk”, inilah yang ada di dalam pikiran mereka. Orang-orang seperti ini tidak dapat mendefinisikan kata sibuk. Mereka menganggap bahwa apabila ada sesuatu yang dilakukan itu sudah berarti menjadi sibuk. Apabila hanya sekedar mencari apa yang bisa dikerjakan, bermain layangan, berjalan tanpa tujuan, menatap dinding, berteriak, menggoda orang di jalan juga sesuatu yang dapat dikerjakan bukan?
7. Mencari Kepuasan

Banyak orang yang menerima jenis pekerjaan apapun di tahap awal pencarian kerja. Mereka berpikir bahwa pekerjaan pertama mereka adalah batu loncatan untuk mencapai karier yang mereka inginkan. Ada juga orang yang langsung mengatakan “tidak” untuk setiap tawaran pekerjaan yang ia anggap tidak sesuai dengan apa yang akan ia capai dalam hidup. Mereka tidak peduli dengan tanggapan orang lain tentang pekerjaan yang mereka geluti. Terkadang, mereka juga tidak terlalu memikirkan penghasilan yang akan diraih dari pekerjaan tersebut.
Orang-orang seperti ini ingin berekspresi, membantu, dan memberikan sesuatu yang dapat berdampak pada kehidupan orang lain. Mereka mencari sesuatu yang mereka anggap sebagai “kepuasan diri”. Namun, sepertinya jarang sekali ini ditemukan pada orang-orang yang baru memasuki dunia kerja. Orang-orang lebih memilih untuk realistis karena setuju bahwa hidup itu memerlukan uang.
Dari penejelasan 1-7, nomor berapa yang membawamu pada pekerjaan pertamamu?
Comments